80 Tahun Indonesia: Merdeka, Berdaulat, Adil, dan Makmur


Oleh: Renol F. Asdi, M.Pd.T

POLITIKSUMBAR- Tahun 2025 bukan sekadar angka dalam kalender sejarah. Usia 80 tahun adalah tonggak refleksi: sejauh mana cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945 sudah terwujud? Delapan dekade cukup panjang untuk menilai kemajuan sebuah bangsa. Namun, pertanyaan mendasar tetap relevan: apakah Indonesia sungguh telah merdeka, berdaulat, adil, dan makmur?

Seringkali, peringatan kemerdekaan berhenti pada simbol: lomba, karnaval, dan upacara. Semua itu penting sebagai perekat kebersamaan, tetapi esensi kemerdekaan jauh lebih dalam. Ia adalah janji yang harus diwujudkan, bukan sekadar diucapkan.

Merdeka: Dari Kolonial ke Ketergantungan Baru

Secara formal, bangsa ini merdeka sejak 1945. Namun, bentuk penjajahan berubah rupa: ketergantungan ekonomi, teknologi, hingga informasi.

Pangan: impor beras 2023 mencapai lebih dari 3 juta ton—tertinggi dalam lima tahun terakhir. Kedelai, gula, hingga bawang putih pun masih bergantung pada luar negeri.

Kesehatan:70% bahan baku obat datang dari India dan Tiongkok. Pandemi COVID-19 membuktikan rapuhnya kemandirian kita.

Digital:data pribadi rakyat dikuasai raksasa teknologi asing. Padahal, data adalah “minyak baru” abad ini.

Merdeka hari ini berarti bukan hanya bebas dari penjajah fisik, melainkan juga dari ketergantungan struktural yang melemahkan kedaulatan.

Berdaulat: Kuasa yang Belum Utuh

Berdaulat berarti mampu menentukan arah sendiri. Namun, banyak sektor menunjukkan sebaliknya.

Energi:meski kaya batubara, kita masih mengimpor 60% BBM karena keterbatasan kilang.

Pangan:swasembada dicanangkan, tetapi impor terus berulang.

Politik: demokrasi berjalan, tetapi oligarki menguat. Suara rakyat sering kalah oleh kepentingan elite.

Kedaulatan tidak cukup diukur dari pemilu lima tahunan, melainkan dari kemampuan rakyat dan negara menentukan masa depannya sendiri.

Adil: Ketimpangan yang Menganga

Keadilan sosial masih jauh dari nyata.

Ekonomi: gini ratio 0,388 menandakan jurang kaya-miskin.

Hukum:kasus korupsi bernilai triliunan kerap berakhir ringan, sementara rakyat kecil dihukum berat untuk pelanggaran sepele.

Pendidikan & kesehatan: ribuan sekolah rusak, rasio dokter masih separuh standar WHO.

Gender: kesenjangan partisipasi kerja dan tingginya kasus kekerasan menunjukkan keadilan belum merata.

Makmur: Pertumbuhan Belum Berarti Kesejahteraan

Indonesia memang tumbuh. PDB 2024 mencapai US\$ 1,5 triliun. Namun, 25 juta orang masih miskin, dan lebih dari 100 juta rentan jatuh miskin kembali. Kekayaan nasional terkonsentrasi di tangan 1% penduduk.

Kemakmuran sejati seharusnya berarti kesejahteraan merata, lingkungan lestari, dan rasa aman sosial. Saat ini, itu masih menjadi pekerjaan rumah besar.

Penutup: Jalan Panjang Menuju Kemerdekaan Sejati

Kita patut bersyukur atas capaian bangsa: demokrasi yang relatif stabil, infrastruktur yang membaik, posisi strategis di dunia. Namun, usia 80 tahun tidak boleh hanya dirayakan dengan euforia. Ia harus menjadi momentum refleksi nasional.

Merdeka berarti bebas dari ketergantungan. Berdaulat berarti kuasa menentukan arah sendiri. Adil berarti semua rakyat mendapat perlakuan setara. Makmur berarti pertumbuhan ekonomi dirasakan nyata di meja makan rakyat, bukan hanya di statistik.

Generasi muda, khususnya yang lahir di era digital, memegang kunci untuk memperjuangkan kedaulatan baru: data, teknologi, lingkungan, dan kesejahteraan merata.

Pertanyaan pun bergema kembali: apakah kita sungguh telah merdeka, atau masih berjalan panjang menuju kemerdekaan sejati?