Oleh: Gun Sugianto – Ketua Majelis Ekonomi Muhammadiyah Sumbar Tokoh Koperasi Sumatera Barat
Beberapa hari terakhir, publik Sumatera Barat ramai membicarakan data yang menempatkan ekonomi kita di peringkat 31 nasional. Banyak yang buru-buru menilainya sebagai kabar buruk, seolah-olah Sumbar sedang terpuruk dan tertinggal. Padahal, peringkat hanyalah angka di atas kertas. Ia tidak serta-merta mencerminkan kualitas pembangunan, apalagi rasa keadilan yang dirasakan rakyat di lapangan.
Fakta justru menunjukkan hal sebaliknya: ekonomi Sumbar tumbuh dengan wajah kerakyatan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Maret 2025 menegaskan, Gini Ratio Sumatera Barat berada di angka 0,282, jauh lebih rendah dibandingkan nasional 0,375. Angka ini bermakna sederhana: jurang kaya dan miskin di Sumbar relatif sempit, sebuah capaian yang jarang dimiliki provinsi lain.
Ekonomi Sumbar tidak berdiri di atas kaki kapital besar atau konglomerasi yang hanya menguntungkan segelintir orang. Kita bertumpu pada UMKM, koperasi, pertanian, perdagangan rakyat, dan sektor informal. Sektor-sektor inilah yang memberi kehidupan nyata bagi jutaan keluarga. Mungkin tidak membuat grafik PDRB melonjak spektakuler, tetapi justru memastikan pertumbuhan yang adil, merata, dan berakar pada rakyat.
BPS juga mencatat, 40% penduduk dengan pengeluaran terbawah menguasai 23,85% konsumsi total. Angka ini menegaskan bahwa daya beli masyarakat bawah di Sumbar relatif terjaga. Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi di Sumbar tidak hanya dinikmati kalangan elit, tetapi ikut mengalir ke dapur rakyat kecil.
Ketika banyak daerah lain terjebak dalam pertumbuhan tinggi yang timpang, Sumbar justru mampu menjaga agar jurang sosial tidak melebar. Inilah wajah ekonomi kerakyatan: sederhana, merata, dan lebih manusiawi.
Ekonomi kerakyatan yang hidup di Sumbar berbeda dari model kapitalis. Kapitalisme mendorong akumulasi modal yang sering hanya dinikmati kelompok kecil, sementara rakyat banyak ditinggalkan. Sebaliknya, ekonomi kerakyatan memang tumbuh lebih perlahan, tetapi lebih adil. Ia tidak heboh di angka statistik, tetapi nyata di lapangan: rakyat kecil tetap bisa bekerja, berbelanja, dan bertahan hidup.
Karena itu, sudah saatnya kita berhenti minder dengan peringkat 31. Peringkat hanyalah satu indikator, bukan segalanya. Yang jauh lebih penting, Sumbar telah membuktikan bahwa pertumbuhan bisa berjalan beriringan dengan pemerataan.
Tugas kita ke depan adalah memperkuat pondasi ekonomi rakyat ini: membuka akses modal lebih luas bagi UMKM, memperkuat koperasi sebagai tulang punggung, mendorong produk lokal masuk ke rantai digital dan pasar global, serta memastikan pembangunan tidak berhenti di angka, tetapi benar-benar dirasakan oleh masyarakat.
Sumatera Barat tidak sedang membangun ekonomi kapitalis yang memuja modal. Kita sedang menata ekonomi kerakyatan yang menempatkan rakyat sebagai subjek utama pembangunan. Inilah jati diri ekonomi Minangkabau sejak lama: gotong royong, keadilan sosial, dan kesejahteraan bersama.
Peringkat 31 bukanlah kabar buruk. Justru di balik angka itu, Sumbar sedang menunjukkan jalan baru: jalan ekonomi yang sehat, adil, manusiawi, dan sesuai dengan kepribadian bangsanya. Karena pada akhirnya, pembangunan tidak diukur dari siapa yang paling tinggi di tabel statistik, tetapi dari siapa yang mampu membuat rakyatnya ikut tersenyum.
