Ketika Hukum Diabaikan, Pengabdian Dikhianati: Pemberhentian Tidak Hormat Ogi Yurilson, Luka Bagi Pemerintahan Nagari


Oleh: Ogi Yurilson

Di Nagari Sariak Laweh, Kecamatan Akabiluru, tengah bergulir sebuah peristiwa yang mengusik rasa keadilan masyarakat: pemberhentian sepihak terhadap Ogi Yurilson, Kepala Jorong Nagari Gadang yang selama ini dikenal aktif, berdedikasi, dan bekerja tanpa cela. Ia diberhentikan melalui Surat Keputusan Wali Nagari Nomor 16 Tahun 2025 tanpa dasar hukum yang jelas, tanpa pelanggaran, tanpa proses pembelaan.

Ini bukan sekadar cerita tentang seorang perangkat nagari yang kehilangan jabatan. Ini adalah potret nyata keruntuhan asas pemerintahan yang baik ketika kekuasaan digunakan untuk menggugurkan pengabdian, dan hukum tidak lagi menjadi pedoman, tetapi justru dilangkahi.

Sebagai masyarakat yang menjunjung demokrasi dan supremasi hukum, kita patut mempertanyakan keputusan ini. Tindakan pemberhentian tersebut patut diduga melanggar regulasi yang sah dan mengikat. Berdasarkan Permendagri Nomor 67 Tahun 2017 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa, seorang perangkat hanya dapat diberhentikan apabila:

1. Meninggal dunia,

2. Mengundurkan diri secara tertulis, atau

3. Tidak lagi memenuhi syarat jabatan karena putusan hukum tetap atau pelanggaran berat.

Jika tidak satu pun dari syarat itu terpenuhi, maka pemberhentian perangkat, termasuk Kepala Jorong, secara hukum batal demi hukum dan tidak sah.

Ogi Yurilson tidak mengundurkan diri. Ia tidak meninggal dunia. Ia tidak dijatuhi hukuman atau dikenai sanksi. Maka, dasar apa yang digunakan untuk mencopotnya dari jabatan?

Permendagri juga mengatur bahwa setiap pemberhentian perangkat harus melalui konsultasi dengan Camat dan didasarkan pada dokumen administratif yang sah—baik berupa hasil evaluasi, surat pengunduran diri, maupun putusan pengadilan. Dalam kasus ini, tidak ditemukan satu pun bukti yang mendukung pemberhentian tersebut. Wali Nagari hanya berdalih bahwa pemberhentian didasari "aspirasi masyarakat"—tanpa pernah menunjukkan dokumen tertulis, notulen musyawarah, atau pernyataan kolektif dari warga.

Pertanyaannya: sejak kapan "perasaan" menggantikan hukum dalam pengambilan keputusan pemerintahan?

Jika seorang Wali Nagari dapat memberhentikan perangkat hanya berdasarkan persepsi, tekanan politik, atau sentimen pribadi, maka sistem pemerintahan nagari berada di ambang krisis. Ini adalah bentuk penyalahgunaan wewenang—sebuah pengkhianatan terhadap semangat reformasi nagari dan prinsip good governance.

Pemberhentian ini bukan sekadar melukai Ogi sebagai individu. Ia menciptakan luka sosial, mengikis kepercayaan publik, dan meninggalkan preseden buruk: bahwa siapa pun bisa dikorbankan jika tak sejalan dengan pemegang kuasa.

Pemerintahan nagari tidak boleh dibiarkan melenceng dari jalur hukum. Sudah saatnya Bupati Lima Puluh Kota, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Nagari (DPMD), serta Inspektorat turun tangan dan mengevaluasi kasus ini agar setiap keputusan tetap berpijak pada asas legalitas dan keadilan.

Kami menyerukan: tinjau kembali keputusan ini. Karena jika hukum terus diabaikan, maka yang kita bangun bukanlah nagari—melainkan jurang ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah.

Ogi Yurilson mungkin telah kehilangan jabatannya. Tapi satu hal yang tak bisa dirampas darinya: hak untuk mendapatkan keadilan.